Minggu, 09 Mei 2010

Issu Mengenai Hilangnya Pulau Nipa



Di Balik Isu Tenggelamnya Pulau Nipah HARI-hari ini media massa terus menyoroti pro-kontra penambangan pasir laut. Kalau pertengahan tahun ini ramai disoroti hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan, sebenarnya diam-diam pengerukan pasir yang berdalih devi a sudah menghilangkan beberapa pulau s kecil di Indonesia. SATU di antaranya yang sudah nyaris hilang adalah Pulau Nipah, salah satu pulau kecil yang terletak di Selat Philip, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak tahun 1973. Di Pulau Nipah ada suatu titik acuan yang menjadi dasar pengukuran dan penetapan median line Indonesia-Singapura. Maka, bila Pulau Nipah tenggelam, titik acuan itu akan hilang. Dampaknya adalah bergesernya median line tersebut sehingga akan mempengaruhi batas wilayah NKRI. Secara spesifik lagi, mempengaruhi pula Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) mengirim timnya untuk menyurvei kondisi geologi dan geofisika kelautan di sekitar perairan Pulau Nipah akhir April 2003. Kegiatan survei lapangan ini untuk mendapatkan data geologi kelautan dan oseanografi di sekitar perairan Pulau Nipah. Sasaran akhirnya adalah data dan kajian geologi kelautan serta oseanografi di kawasan itu seh ingga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan, terutama menghadapi berbagai isu perbatasan. Kegiatan survei lapangan dilakukan secara umum dengan beberapa metode. Pertama, metode pemetaan situasi dengan pengamatan secara langsung daratan Pulau Nipah, kemudian pengukuran sou nding, seismik, pengambilan contoh sed imen permukaan dasar laut, pengamatan pasang surut, dan pengukuran arus. Penentuan posisi pada semua kegiatan tersebut menggunakan peralatan DGPS (differential global positioning system) Trimble yang memanfaatkan fasilitas Radio Beacon Singapura sehingga kesalahan kurang dari 1meter. Kondisi laut Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulau yang terletak pada koordinat 103°39'04,68\"- 103°39'39,38\" BT dan 1°8'26,88\"-1°9'12,21\" LU ini kondisinya stabil. Secara administratif termasuk Desa Pemping, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam. Perairan Pulau Nipah bertipe pasang surut campuran dominan ganda. Artinya, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam waktu 24 jam dengan intertidal air maksimum 2,560 meter. Mean sea level (MSL) dari hasil perhitungan sementara adalah 2,525 meter. Penelitian pada arus menggunakan current- meter selama 7 jam pada satu lokasi di sebelah barat Pulau Nipah menunjukkan arah umum ke utara. Adapun pengamatan arus dinamis menggunakan trayektori menunjukkan pola yang tidak beraturan. Arus di sekitar Pulau Nipah mengalami turbulensi akibat arus kuat dengan massa air besar dari barat-utara dan timur-selatan membentur Pulau Nipah. Gelombang relatif tenang dengan tinggi gelombang kurang dari 0,5 meter. Lalu lintas kapal internasional di kawasan tersebut terh itung padat. Karena perairan bebas antara Pulau Nipah dan Singapura sempit, lalu lintas kapal dibagi dalam dua jalur. Jalur kapal yang menuju ke Selat Malaka (arah barat laut) berada di perairan bebas sebelah utara Pulau Nipah, sedangkan jalur kapal yang menuju Singapura(arah tenggara) dibelokkan ke selatan Pulau Nipah memasuki wilayah perairan dalam Indonesia. Walaupun jarak lalu lintas kapal-kapal tersebut relatif cukup jauh dari PulauNipah, gelombang yang dihasilkan relatif signifikan, tercatat tinggi gelombang mencapai 0,6 m dengan 7-10 periode selama 15-20 detik. Peta kontur batimetri di perairan Pulau Nipah menunjukkan morfologi bergelombang dengan beberapa tonjolan dasar laut. Di bagian timur pulau relatif terjal, sedangkan di bagian barat relatif lebih landai dengan kedalamanlaut yang terukur mencapai 25 meter. Kondisi geologis Kondisi geologis Pulau Nipah pada Peta Geologi Lembar Tanjungpinang (Kusnama, 1994) tidak terpetakan. Namun, dipercayai pulau ini merupakan kelanjutan dari gugusan Barelang, khususnya Pulau Bulan, Kepala Jerih, dan Pemping. Kelurusan struktur geologi berarah barat laut-tenggara pada gugusan pulau-pulau tersebut sesuai dengan arah sumbu Pulau Nipah. Jenis batuan (litologi) yang muncul saat Pulau Nipah surut ada beberapa jenis. Batuan sedimen yang tersingkap di beberapa tempat di sumbu sepanjang daratan Pulau Nipah yang diyakini sebagai batuan dasar. Singkapan batuan sedimen ini relatif telah berubah menjadi metasedimen dan mengalami pelapukan berat sehingga berwarna kecoklatan. Di beberapa tempat terlihat pelapukan mengulit bawang (speroidal weatherin namun g), masih masih tampak sifat keras atau kompak, khususnya pada kekar-kekar yang terisi kuarsa. Tidak dapat dibedakan lebih detail lagi jenis sedimennya dan diduga tersusun dari jenis konglomerat, batu pasir, dan lanau yang mengalami kekar-kekar. Jika disepadankan dengan formasi pada geologi regionalnya, maka satuan batuan sedimen ini diduga merupakan Formasi Pancur (Ksp) berumur Kapur Awal. Batuan lainnya adalah terumbu karang yang berada di atas batuan sedimen.Terumbu karang ini merupakan terumbu masa lampau, sudah mati, bersifat masif, dan bermorfologi datar. Terdapat pula sedimen tak terkonsolidasi berupa pasir-kerakal yang merupakan pecahan dari batuan sedimen dan terumbu, terhampar di sela-sela dua satuan batuan di atas. Pada penelitian sedimen permukaan laut, berdasarkan pengamatan megaskopis, jenis sedimen permukaan dasar laut perairan sekitar Pulau Nipah dapat dibedakan menjadi tiga satuan, yaitu kerikil pasiran, pasir lanauan, dan boulder karang yang sudah mati. Adapun hasil interpretasi penampang seismik pantul dangkal dapat menggambarkan satuan batuan yang mendasari laut di sekitar Pulau Nipah. Satuan A merupakan seismic basement dengan ciri reflektor chaotic. Makin mendekati arah pulau, gelombang seismik tak mampu menembus satuan ini. Pada beberapa tempat, satuan ini membentuk tinggian dasar laut. Dengan alasan tersebut diperkirakan satuan ini sebagai batuan dasar, bukan tubuh granit, tetapi batuan metasedimen di daratan Pulau Nipah. Satuan B dengan posisi stratigrafi di atas satuan A memperlihatkanadanya pelapisan dengan ciri reflektor semiparalel. Hal ini menunjukkan adanya batuan sedimentak terkonsolidasi yang diperkirakan sebagai sedimen Kuarter. Satuan ini umumnya tipis menempati morfologi lembah satuan A, namun terdapat di bagian utara Pulau Nipah, yakni pada alur selat mencapai 20 m. Satuan C mencirikan pinnacle reef dengan bentuk runcing dan reflektor di bawahnya buram, satuan ini di atas satuan A ataupun B.Dari kenampakan rekaman penampang seismik menunjukkan, kondisi permukaan dasar laut sekitar Pulau Nipah masih alami, tidak ada indikasi adanya bekas pengerukan (penambangan) pasir laut. Kondisi daratan Daratan Pulau Nipah datar dan berbentuk lonjong berarah barat laut-tenggara. Pada kondisi air surut, daratan pulau ini muncul dengan luas 62,83 hektar, panjang garis pantai 3,96 km, sumbu panjang 1,6 km, dan sumbu lebar sekitar 0,4 km. Pada kondisi pasang, pulau ini sebagian besar tergenang, yang terlihat hanya beberapa tonjolan singkapan batuan metasedimen, kolam, beberapa pohon bakau, dan mercu suar. Biota di Pulau Nipah terdiri atas tumbuhan mangrove yang secara alami tumbuh pada substrat batuan dan pasir. Biota lain yang hidup pada zona pasang surut di daratan pulau adalah rumputlaut, hard-soft coral, sejenis tripang, dan berbagai jenis ikan karang. Sampai saat ini Pulau Nipah adalah pulau kosong dan tak berpenghuni. Tidak ada pemanfaatan lahan di pulau tersebut. Meski demikian, di bagian tengah Pulau Nipah terdapat kolam yang terlihat jelas jika pulau didekati. Mengingat batuan di pulau ini keras dan pejal, maka diperkirakan pembuatan kolam menggunakan peralatan berat dengan cara mengeruk batuan dasar atau bahkan dengan peledakan kecil. Kekuatan demikianlah yang mampu membentuk kolam sedemikian rupa. Di pinggirannya tampak timbunan material batuan dan pasir yangdiambil dari sekitar pulau. Pada kondisi surut, panjang kolam 100 m, lebar 45 m, dan kedalaman tengah kolam mencapai 3,5 m. Tidak didapatkan keterangan lebih lan mengenai kegunaan kolam ini. jut Namun, di kalangan penduduk sekitar berkembang isu bahwa Pulau Nipah akan dipergunakan untuk keperluan tempat pariwisata, perikanan, sampai pembuangan limbah B3 dari Singapura. Penduduk juga memberi keterangan bahwa kondisi Pulau Nipah dari dulu sampai sekarang-untuk batuan dasarnya-adalah tetap (tidak mengalami perubahan). Adapun sedimen pasir telah banyak berubah,terutama setelah pembuatan kolam. Tumbuhan pun kini sudah banyak berkurang. Pulau yang stabil Fakta lapangan menunjukkan, proses dominan yang mempengaruhikondisi pulau adalah proses marine, khususnya gelombang laut musiman. Selain itu, pulau ini mendapat beban gelombang laut yang ditimbulkan oleh lalu lintas kapal. Karena morfologi daratan pulau ini datar dan tergenang di saat pasang,proses abrasi tidak terlihat jelas. Bukti abrasi hanya dapat dilihat pada bagian yang menonjol di permukaan kolam dan mercu suar. Mengingat Pulau Nipah tersusun oleh batuan metasedimen dan terumbu karang yang mempunyai sifat relatif keras atau kompak, secara alami proses abrasi yang terjadi ti ak d begitu signifikan. Batuan penyusun pulau yang bermorfologi datar cukup mampu menahan gempuran gelombang laut, khususnya saat surut. Kondisi batuan penyusun di daratan Pulau Nipah dan data rekamanseismik menunjukkan bahwa Pulau Nipah tersusun oleh batuan dasar yang kuat, resisten, dan masif. Dengan demikian dapat disimpulkan, Pulau Nipah tidaklah tenggelam. Fakta lapangan menunjukkan bahwa pulau ini telah direkayasa. Pembuatan kolam yang materialnya diambil dari batuan setempat merupakan bentuk rekayasa yang bisa diduga justru mempercepat proses abrasi Pulau Nipah. Siapa pelaku rekayasa dan apa maksud serta tujuannya adalah hal lain yang harus di indaklanjuti oleh lembaga yang kompeten. t Satu hal yang pasti adalah, Pulau Nipah hendaklah di aga keberadaannya agar tetap lestari. j Salah satu pulau terluar di Indonesia ini juga harus dipertahankan sebagai monumen historis kewilayahan perjanjian perbatasan Indonesia-Singap tahun 1973. Pulau ini pun ura dapat difungsikan sebagai lahan peruntu wisata atau dibiarkan alami sebagai cagar kan alam. NA Kristanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.

Sumber: /lembar-informasi-092003

Perebutan Blog Dasar Laut Krisis Ambalat

Wajar kita semakin emosi sebab tahun-tahun belakangan ini negara serumpun itu (Malaysia) seolah mengganggu kita (Indonesia) dengan berbagai pengakuan, mulai dari mengakui Reog Ponorogo, rendang Padang, batik sebagai milik mereka; mengakuisisi banyak lahan di Sumatra dan Kalimantan untuk ditanami sawit dan CPO (crude palm oil-nya) diolah mereka lalu minyak sawitnya dijual ke Indonesia dan dibeli rakyat Indonesia dengan harga mahal; memborong naskah-naskah kuno Melayu ke Riau daratan dan Riau kepulauan sampai ke Pulau Penyengat agar mereka layak disebut aslinya Melayu; sampai kasus terakhir ala sinetron Manohara; dan kini Ambalat.
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu, tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindungan satwa. Dalam krisis Ambalat yang diributkan Indonesia dan Malaysia (dengan ketegangan) adalah bukan sengketa pulau, tetapi sengketa sebuah blok dasar laut yang dikenal dengan landas kontinen (benua) yang disebut Landas Kontinen Ambalat.



Sebenarnya Indonesia telah mengeluarkan UU terbaru tentang Wilayah Negara (UU RI Nomor 43 Tahun 2008). Dalam UU itu, yang mengacu kepada UNCLOS 1982, jelas diatur soal definisi dan penguasaan Landas Kontinen. UU RI No. 43/2008 Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 mendefinisikan Landas Kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2500 (dua ribu lima ratus) meter.
Jelas, bahwa Landas Kontinen Indonesia ke arah Sabah Malaysia bisa didefinisikan dengan berbagai kriteria :
•Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
•Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari gars dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982;
•Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kedaulatan dan hak berdaulat (secara hukum internasional ini dua terminologi berbeda) harus ditegakkan dan dibela tidak saja dengan PELURU tetapi juga dengan PENGETAHUAN. Maka, sebaiknya kita harus siapkan dua hal itu apabila kita kelak berkonfrontasi dengan negara-negara tetangga soal perbatasan. PELURU penting untuk menggebrak musuh, PENGETAHUAN penting untuk berjaya dalam meja-meja perundingan.

Sumber: milis Ikatan Ahli Geoligi Indonesia

Senin, 03 Mei 2010

Perjanjian Atas Batas Wilayah Hubungannya dengan Undang-Undang

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen dengan negara Malaysia, Thailand, Australia dan India. Berikut merupaan perjanjian yang dilakukan oleh kedua negara atas batas negara Indonesia dengan masing-masing negara lainya:
1. Perjanjian RI dan Malaysia
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut Cina Selatan
- Ditandatangai tanggal 27 oktober 1969
- Berlaku mulai 7 November 1969
2. Perjanjian Republik Indonesia dengan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut andaman
- Ditandatangai tanggal 17 Desember 1971
- Berlaku mulai 7 April 1972
3. Perjanjian Republik Indonesia dengan Malaysia dan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen bagian utara
- Ditandatangai tanggal 21 Desember 1971
- Berlaku mulai 16 Juli 1973
4. Perjanjian RI dengan Australia
- Penetapan atas batas dasar laut di Laut Arafuru, di depan pantai selatan Pulau Papua / Irian serta di depan Pantau Utara Irian / Papua
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 19 November 1973
5. Perjanjian RI dengan Australia (Tambahan Perjanjian Sebelumnya)
- Penetapan atas batas-batas dasar laut di daerah wilayah Laut Timor dan Laut Arafuru
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 9 Oktober 1972
6. Perjanjian RI dengan India
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di wilayah Sumatera / Sumatra dengan Kepulauan Nikobar / Nicobar
- Ditandatangai tanggal 8 Agustus 1974
- Berlaku mulai 8 Agustus 1974
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Semua perjanjian tersebut di atas dapat dilihat contohnya pada perjanjian batas laut negara Timor Leste yang harus melibatkan Indonesia.

Denpasar (ANTARA News) - Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, menegaskan, pembahasan dan perundingan batas laut negara dan wilayah zone ekonomi eksklusif di Laut Timor oleh Australia dan Timor Timur harus juga melibatkan Indonesia. Dalam satu komunikasi di Denpasar, Selasa, Ferdi menilai, perjanjian Indonesia-Australia pada 1972 tentang penetapan batas landas kontinen yang menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation). Prinsip itu melegitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen berbeda dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian utara dari batas landas kontinen Australia.
"Prinsip itu adalah tidak benar.Dalam perjanjian tersebut diabaikan prinsip garis tengah untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara," katanya.
Konsepsi itu menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor sehingga Australia bisa menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya bahan bakarfosil.
"Padahal fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja," katanya.
Menurut Tanoni, sehubungan fakta itu, maka berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa 1958 Tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal lautwilayahnya. Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya antara Indonesia di wilayah Pulau Timor dan Australia, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen.

"Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia," katanya.

Menurutnya, pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara.

"Akan tetapi pada kenyataannya, Australia telah menggunakan perjanjian itu secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah sejak 450 tahun secara turun temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian," katanya.

Padahal, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal saja itu tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi.

Sejak 1999 telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya setelah negara baru, Timor Timur, menjadi satu negara berdaulat. Negara baru ini menempati wilayah setengah Pulau Timor.

Dengan begitu, katanya, Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua negara lagi, tapi sudah merupakan milik tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Timur. (*)

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WILAYAH NEGARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udaradi atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Referensi:
organisasi.org
/perjanjian-batas-laut-timor-harus-libatkan-indonesia

Senin, 26 April 2010

Perbatasan Indonesia dengan Pulau-pulau Terluar NKRI

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai sekitar 81.900 kilometer, memiliki wilayah perbatasan dengan banyak negara baik perbatasan darat (kontinen) maupun laut (maritim). Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG) dan Timor Leste. Perbatasan darat Indonesia tersebar di tiga pulau, empat Provinsi dan 15 kabupaten/kota yang masing-masing memiliki karakteristik perbatasan yang berbeda-beda. Demikian pula negara tetangga yang berbatasannya baik bila ditinjau dari segi kondisi sosial, ekonomi, politik maupun budayanya. Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Filipina, Republik Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini (PNG). Wilayah perbatasan laut pada umumnya berupa pulau-pulau terluar yang jumlahnya 92 pulau dan termasuk pulau-pulau kecil. Beberapa diantaranya masih perlu penataan dan pengelolaan yang lebih intensif karena mempunyai kecenderungan permasalahan dengan negara tetangga.
Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM-Nasional 2004-2009) telah menetapkan arah dan pengembangan wilayah Perbatasan Negara sebagai salah satu program prioritas pembangunan nasional. Pembangunan wilayah perbatasan memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan misi pembangunan nasional, terutama untuk menjamin keutuhan dan kedaulatan wilayah, pertahanan keamanan nasional, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di wilayah perbatasan. Paradigma baru, pengembangan wilayah-wilayah perbatasan adalah dengan mengubah arah kebijakan pembangunan yang selama ini cenderung berorientasi sehingga wilayah tersebut dapat dimanfaatkan sebagai pintu gerbang aktivitas ekonomi dan perdagangan dengan negara tetangga. Pendekatan pembangunan wilayah Perbatasan Negara menggunakan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dengan tidak meninggalkan pendekatan keamanan (security approach). Sedangkan program pengembangan wilayah perbatasan (RPJM Nasional 2004-2009), bertujuan untuk : (a) menjaga keutuhan wilayah NKRI melalui penetapan hak kedaulatan NKRI yang dijamin oleh Hukum Internasional; (b) meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat dengan menggali potensi ekonomi, sosial dan budaya serta keuntungan lokasi geografis yang sangat strategis untuk berhubungan dengan negara tetangga. Disamping itu permasalahan perbatasan juga dihadapkan pada permasalahan keamanan seperti separatisme dan maraknya kegiatan-kegiatan ilegal.

Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2005 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2006 (RKP 2006) telah pula menempatkan pembangunan wilayah perbatasan sebagai prioritas pertama dalam mengurangi disparitas pembangunan antarwilayah, dengan program-program antara lain : Percepatan pembangunan prasarana dan sarana di wilayah perbatasan, pulau-pulau kecil terisolir melalui kegiatan : (i) pengarusutamaan DAK untuk wilayah perbatasan, terkait dengan pendidikan, kesehatan, kelautan dan perikanan, irigási, dan transportasi, (ii) penerapan skim kewajiban layanan publik dan keperintisan untuk transportasi dan kewajiban layanan untuk telekomunikasi serta listrik pedesaan; Pengembangan ekonomi di wilayah Perbatasan Negara; Peningkatan keamanan dan kelancaran lalu lintas orang dan barang di wilayah perbatasan, melalui kegiatan : (i) penetapan garis batas negara dan garis batas administratif, (ii) peningkatan penyediaan fasilitas kapabeanan, keimigrasian, karantina, komunikasi, informasi, dan pertahanan di wilayah Perbatasan Negara (CIQS); Peningkatan kapasitas kelembagaan pemerintah daerah yang secara adminstratif terletak di wilayah Perbatasan Negara.
Sebagian besar wilayah perbatasan di Indonesia masih merupakan daerah tertinggal dengan sarana dan prasarana sosial dan ekonomi yang masih sangat terbatas. Pandangan dimasa lalu bahwa daerah perbatasan merupakan wilayah yang perlu diawasi secara ketat karena menjadi tempat persembunyian para pemberontak telah menjadikan paradigma pembangunan perbatasan lebih mengutamakan pada pendekatan keamanan dari pada kesejahteraan. Sebagai wilayah perbatasan di beberapa daerah menjadi tidak tersentuh oleh dinamika sehingga pembangunan dan masyarakatnya pada umumnya miskin dan banyak yang berorientasi kepada negara tetangga. Di lain pihak, salah satu negara tetangga yaitu Malaysia, telah membangun pusat-pusat pertumbuhan dan koridor perbatasannya melalui berbagai kegiatan ekonomi dan perdagangan yang telah memberikan keuntungan bagi pemerintah maupun masyarakatnya. Demikian juga Timor Leste, tidak tertutup kemungkinan dimasa mendatang dalam waktu yang relatif singkat, melalui pemanfaatan dukungan internasional, akan menjadi negara yang berkembang pesat, sehingga jika tidak diantisipasi provinsi NTT yang ada di perbatasan dengan negara tersebut akan tetap tertinggal. Dengan berlakunya perdagangan bebas baik ASEAN maupun internasional serta kesepakatan serta kerjasama ekonomi baik regional maupun bilateral, maka peluang ekonomi di beberapa wilayah perbatasan darat maupun laut menjadi lebih terbuka dan perlu menjadi pertimbangan dalam upaya pengembangan wilayah tersebut. Kerjasama sub-regional seperti AFTA (Asean Free Trade Area), IMS-GT (Indonesia Malaysia Singapura Growth Triangle), IMT-GT (Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle), BIMP-EAGA (Brunei, Indonesia, Malaysia, Philipina-East Asian Growth Area) dan AIDA (Australia Indonesia Development Area) perlu dimanfaatkan secara optimal sehingga memberikan keuntungan kedua belah pihak secara seimbang. Untuk melaksanakan berbagai kerjasama ekonomi internasional dan sub-regional tersebut Indonesia perlu menyiapkan berbagai kebijakan dan langkah serta program pembangunan yang menyeluruh dan terpadu sehingga Indonesia tidak akan tertinggal dari negara-negara tetangga yang menyebabkan sumberdaya alam yang tersedia terutama di wilayah perbatasan akan tersedot keluar tanpa memberikan keuntungan bagai masyarakat dan pemerintah. Sarana dan prasarana ekonomi dan sosial yang dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan kerjasama bilateral dan sub-regional perlu disiapkan. Penyediaan sarana dan prasarana ini tentunya membutuhkan biaya yang sangat besar, oleh karena itu diperlukan penentuan prioritas baik lokasi maupun waktu pelaksanaannya.
Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan ini diharapkan dapat memberikan prinsip-prinsip pengembangan wilayah Perbatasan Negara sesuai dengan karakteristik fungsionalnya untuk mengejar ketertinggalan dari daerah di sekitarnya yang lebih berkembang ataupun untuk mensinergikan dengan perkembangan negara tetangga. Selain itu, kebijakan dan strategi ini nantinya juga ditujukan untuk menjaga atau mengamankan wilayah Perbatasan Negara dari upaya-upaya eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun yang dilakukan dengan dorongan kepentingan negara tetangga, sehingga kegiatan ekonomi dapat dilakukan secara lebih selektif dan optimal.

sehingga dari hal di atas dapat di ambil suatu penafsiran baru mengenai perbatasan wilayah indonesia dengan pulau-pulau terluar NKRI sebagai berikut.
BATAS WILAYAH NKRI
Indonesia mempunyai perbatasan darat dengan tiga negara tetangga, yaitu Malaysia, Papua Nugini dan Timor Leste. Sementara perbatasan laut dengan sepuluh negara tetangga, diantaranya Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste, India, Thailand, Australia, dan Palau. Hal ini tentunya sangat erat kaitannya dengan masalah penegakan kedaulatan dan hukum di laut, pengelolaan sumber daya alam serta pengembangan ekonomi kelautan suatu negara.
Kompleksitas permasalah di laut akan semakin memanas akibat semakin maraknya kegiatan di laut, seperti kegiatan pengiriman barang antar negara yang 90%nya dilakukan dari laut, ditambah lagi dengan isu-isu perbatasan, keamanan, kegiatan ekonomi dan sebagainya. Dapat dibayangkan bahwa penentuan batas laut menjadi sangat penting bagi Indonesia, karena sebagian besar wilayahnya berbatasan langsung dengan negara tetangga di wilayah laut. Batas laut teritorial diukur berdasarkan garis pangkal yang menghubungkan titik-titik dasar yang terletak di pantai terluar dari pulau-pulau terluar wilayah NKRI. Berdasarkan hasil survei Base Point atau titik dasar untuk menetapkan batas wilayah dengan negara tetangga, terdapat 183 titik dasar yang terletak di 92 pulau terluar, sisanya ada di tanjung tanjung terluar dan di wilayah pantai
PULAU-PULAU TERLUAR
Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian pemerintah. Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Ada beberapa kondisi yang membahayakan keutuhan wilayah jika terjadi pada pulau-pulau terluar, diantaranya :
1. Hilangnya pulau secara fisik akibat abrasi, tenggelam, atau karena kesengajaan manusia.
2. Hilangnya pulau secara kepemilikan, akibat perubahan status kepemilikan akibat pemaksaan militer atau sebagai sebuah ketaatan pada keputusan hukum seperti yang terjadi pada kasus berpindahnya status kepemilikan Sipadan dan Ligitan dari Indonesia ke Malaysia
3. Hilang secara sosial dan ekonomi, akibat praktek ekonomi dan sosial dari masyarakat di pulau tersebut. Misalnya pulau yang secara turun temurun didiami oleh masyarakat dari negara lain.
SEBARAN PULAU-PULAU TERLUAR
Berdasarkan inventarisasi yang telah dilakukan oleh DISHIDROS TNI AL, terdapat 92 pulau yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, diantaranya :
1. Pulau Simeulucut, Salaut Besar, Rawa, Rusa, Benggala dan Rondo berbatasan dengan India
2. Pulau Sentut,, Tokong Malang Baru, Damar, Mangkai, Tokong Nanas, Tokong Belayar, Tokong Boro, Semiun, Subi Kecil, Kepala, Sebatik, Gosong Makasar, Maratua, Sambit, Berhala, Batu Mandi, Iyu Kecil, dan Karimun Kecil berbatasan dengan Malaysia
3. Pulau Nipa, Pelampong, Batu berhenti, dan Nongsa berbatasan dengan Singapura
4. Pulau Sebetul, Sekatung, dan Senua berbatasan dengan Vietnam
5. Pulau Lingian, Salando, Dolangan, Bangkit, Manterawu, Makalehi, Kawalusu, Kawio, Marore, Batu Bawa Ikang, Miangas, Marampit, Intata, kakarutan dan Jiew berbatasan dengan Filipina
6. Pulau Dana, Dana (pulau ini tidak sama dengan Pulau Dana yang disebut pertama kali, terdapat kesamaan nama), Mangudu, Shopialoisa, Barung, Sekel, Panehen, Nusa Kambangan, Kolepon, Ararkula, Karaweira, Penambulai, Kultubai Utara, Kultubai Selatan, Karang, Enu, Batugoyan, Larat, Asutubun, Selaru, Batarkusu, Masela dan Meatimiarang berbatasan dengan Australia
7. Pulau Leti, Kisar, Wetar, Liran, Alor, dan Batek berbatasan dengan Timor Leste
8. Pulau Budd, Fani, Miossu, Fanildo, Bras, Bepondo danLiki berbatasan dengan Palau
9. Pulau Laag berbatasan dengan Papua Nugini
10. Pulau Manuk, Deli, Batukecil, Enggano, Mega, Sibarubaru, Sinyaunau, Simuk dan wunga berbatasan dengan samudra Hindia
Diantara 92 pulau terluar ini, ada 12 pulau yang harus mendapatkan perhatian serius dintaranya:
1. Pulau Rondo
Pulau Rondo terletak di ujung barat laut Propinsi Nangro Aceh Darussalam (NAD). Disini terdapat Titik dasar TD 177. Pulau ini adalah pulau terluar di sebelah barat wilayah Indonesia yang berbatasan dengan perairan India.
2. Pulau Berhala
Pulau Berhala terletak di perairan timur Sumatera Utara yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Di tempat ini terdapat Titik Dasar TD 184. Pulau ini menjadi sangat penting karena menjadi pulau terluar Indonesia di Selat Malaka, salah satu selat yang sangat ramai karena merupakan jalur pelayaran internasional.
3. Pulau Nipa
Pulau Nipa adalah salah satu pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Secara Administratif pulau ini masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi terkenal karena beredarnya isu mengenai hilangnya/ tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah Indonesia semakin sempit.
Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami abrasi serius akibat penambangan pasir laut di sekitarnya. Pasir pasir ini kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini sangat rawan dan memprihatinkan.
Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa hanya tediri dari Suar Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR 190) yang menjadi dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan Singapura. Hilangnya titik referensi ini dikhawatirkan akan menggeser batas wilayah NKRI. Pemerintah melalui DISHIDROS TNI baru-baru ini telah mennam 1000 pohon bakau, melakukan reklamasi dan telah melakukan pemetaan ulang di pulau ini, termasuk pemindahan Suar Nipa (yang dulunya tergenang air) ke tempat yang lebih tinggi.
4. Pulau Sekatung
Pulau ini merupakan pulau terluar Propinsi Kepulauan Riau di sebelah utara dan berhadapan langsung dengan Laut Cina Selatan. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 030 yang menjadi Titik Dasar dalam pengukuran dan penetapan batas Indonesia dengan Vietnam.
5. Pulau Marore
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 055.
6. Pulau Miangas
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 056.
7. Pulau Fani
Pulau ini terletak Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 066.
8. Pulau Fanildo
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara kepulauanPalau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072.
9. Pulau Bras
Pulau ini terletak di Kepulauan Asia, Barat Laut Kepala Burung Propinsi Irian Jaya Barat, berbatasan langsung dengan Negara Kepualuan Palau. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 072A.
10. Pulau Batek
Pulau ini terletak di Selat Ombai, Di pantai utara Nusa Tenggara Timur dan Oecussi Timor Leste. Dari Data yang penulis pegang, di pulau ini belum ada Titik Dasar
11. Pulau Marampit
Pulau ini terletak di bagian utara Propinsi Sulawesi Utara, berbatasan langsung dengan Pulau Mindanau Filipina. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 057.
12. Pulau Dana
Pulau ini terletak di bagian selatan Propinsi Nusa Tenggara Timur, berbatasan langsung dengan Pulau Karang Ashmore Australia. Di pulau ini terdapat Titik Dasar TD 121
KESIMPULAN
Sebagai negara kepulauan yang berwawasan nusantara, maka Indonesia harus menjaga keutuhan wilayahnya. Pulau-pulau terluar biasanya adalah daerah terpencil, miskin bahkan tidak berpenduduk dan jauh dari perhatian Pemerintah.
Keberadaan pulau-pulau ini secara geografis sangatlah strategis, karena berdasarkan pulau inilah batas negara kita ditentukan. Pulau-pulau ini seharusnya mendapatkan perhatian dan pengawasan serius agar tidak menimbulkan permasalahan yang dapat menggangu keutuhan wilayah Indonesia, khususnya pulau yang terletak di wilayah perbatasan dengan negara negara yang tidak/ belum memiliki perjanjian (agreement) dengan Indonesia. Dari 92 pulau terluar yang dimiliki Indonesia terdapat 12 pulau yang harus mendapat perhatian khusus, Pulau-pulau tersebut adalah Pulau Rondo, Berhala, Nipa, Sekatung, Marore, Miangas, Fani, Fanildo, Dana, Batek, Marampit dan Pulau Bras

DAFTAR PUSTAKA
Kahar, Jounil, 2004. Penyelesaian Batas Maritim NKRI . Pikiran Rakyat 3 Januari 2004
Tim Redaksi, 2004. Pulau-pulau terluar Indonesia. Buletin DISHIDROS TNI AL edisi 1/ III tahun 2004
http://kawasan.bappenas.go.id