Minggu, 09 Mei 2010
Issu Mengenai Hilangnya Pulau Nipa
Di Balik Isu Tenggelamnya Pulau Nipah HARI-hari ini media massa terus menyoroti pro-kontra penambangan pasir laut. Kalau pertengahan tahun ini ramai disoroti hilangnya Pulau Sipadan dan Ligitan, sebenarnya diam-diam pengerukan pasir yang berdalih devi a sudah menghilangkan beberapa pulau s kecil di Indonesia. SATU di antaranya yang sudah nyaris hilang adalah Pulau Nipah, salah satu pulau kecil yang terletak di Selat Philip, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau ini merupakan batas laut antara Indonesia dan Singapura sejak tahun 1973. Di Pulau Nipah ada suatu titik acuan yang menjadi dasar pengukuran dan penetapan median line Indonesia-Singapura. Maka, bila Pulau Nipah tenggelam, titik acuan itu akan hilang. Dampaknya adalah bergesernya median line tersebut sehingga akan mempengaruhi batas wilayah NKRI. Secara spesifik lagi, mempengaruhi pula Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan (PPGL) mengirim timnya untuk menyurvei kondisi geologi dan geofisika kelautan di sekitar perairan Pulau Nipah akhir April 2003. Kegiatan survei lapangan ini untuk mendapatkan data geologi kelautan dan oseanografi di sekitar perairan Pulau Nipah. Sasaran akhirnya adalah data dan kajian geologi kelautan serta oseanografi di kawasan itu seh ingga dapat digunakan sebagai dasar untuk pengambilan kebijakan, terutama menghadapi berbagai isu perbatasan. Kegiatan survei lapangan dilakukan secara umum dengan beberapa metode. Pertama, metode pemetaan situasi dengan pengamatan secara langsung daratan Pulau Nipah, kemudian pengukuran sou nding, seismik, pengambilan contoh sed imen permukaan dasar laut, pengamatan pasang surut, dan pengukuran arus. Penentuan posisi pada semua kegiatan tersebut menggunakan peralatan DGPS (differential global positioning system) Trimble yang memanfaatkan fasilitas Radio Beacon Singapura sehingga kesalahan kurang dari 1meter. Kondisi laut Hasil penelitian menunjukkan bahwa pulau yang terletak pada koordinat 103°39'04,68\"- 103°39'39,38\" BT dan 1°8'26,88\"-1°9'12,21\" LU ini kondisinya stabil. Secara administratif termasuk Desa Pemping, Kecamatan Belakangpadang, Kota Batam. Perairan Pulau Nipah bertipe pasang surut campuran dominan ganda. Artinya, terjadi dua kali pasang dan dua kali surut dalam waktu 24 jam dengan intertidal air maksimum 2,560 meter. Mean sea level (MSL) dari hasil perhitungan sementara adalah 2,525 meter. Penelitian pada arus menggunakan current- meter selama 7 jam pada satu lokasi di sebelah barat Pulau Nipah menunjukkan arah umum ke utara. Adapun pengamatan arus dinamis menggunakan trayektori menunjukkan pola yang tidak beraturan. Arus di sekitar Pulau Nipah mengalami turbulensi akibat arus kuat dengan massa air besar dari barat-utara dan timur-selatan membentur Pulau Nipah. Gelombang relatif tenang dengan tinggi gelombang kurang dari 0,5 meter. Lalu lintas kapal internasional di kawasan tersebut terh itung padat. Karena perairan bebas antara Pulau Nipah dan Singapura sempit, lalu lintas kapal dibagi dalam dua jalur. Jalur kapal yang menuju ke Selat Malaka (arah barat laut) berada di perairan bebas sebelah utara Pulau Nipah, sedangkan jalur kapal yang menuju Singapura(arah tenggara) dibelokkan ke selatan Pulau Nipah memasuki wilayah perairan dalam Indonesia. Walaupun jarak lalu lintas kapal-kapal tersebut relatif cukup jauh dari PulauNipah, gelombang yang dihasilkan relatif signifikan, tercatat tinggi gelombang mencapai 0,6 m dengan 7-10 periode selama 15-20 detik. Peta kontur batimetri di perairan Pulau Nipah menunjukkan morfologi bergelombang dengan beberapa tonjolan dasar laut. Di bagian timur pulau relatif terjal, sedangkan di bagian barat relatif lebih landai dengan kedalamanlaut yang terukur mencapai 25 meter. Kondisi geologis Kondisi geologis Pulau Nipah pada Peta Geologi Lembar Tanjungpinang (Kusnama, 1994) tidak terpetakan. Namun, dipercayai pulau ini merupakan kelanjutan dari gugusan Barelang, khususnya Pulau Bulan, Kepala Jerih, dan Pemping. Kelurusan struktur geologi berarah barat laut-tenggara pada gugusan pulau-pulau tersebut sesuai dengan arah sumbu Pulau Nipah. Jenis batuan (litologi) yang muncul saat Pulau Nipah surut ada beberapa jenis. Batuan sedimen yang tersingkap di beberapa tempat di sumbu sepanjang daratan Pulau Nipah yang diyakini sebagai batuan dasar. Singkapan batuan sedimen ini relatif telah berubah menjadi metasedimen dan mengalami pelapukan berat sehingga berwarna kecoklatan. Di beberapa tempat terlihat pelapukan mengulit bawang (speroidal weatherin namun g), masih masih tampak sifat keras atau kompak, khususnya pada kekar-kekar yang terisi kuarsa. Tidak dapat dibedakan lebih detail lagi jenis sedimennya dan diduga tersusun dari jenis konglomerat, batu pasir, dan lanau yang mengalami kekar-kekar. Jika disepadankan dengan formasi pada geologi regionalnya, maka satuan batuan sedimen ini diduga merupakan Formasi Pancur (Ksp) berumur Kapur Awal. Batuan lainnya adalah terumbu karang yang berada di atas batuan sedimen.Terumbu karang ini merupakan terumbu masa lampau, sudah mati, bersifat masif, dan bermorfologi datar. Terdapat pula sedimen tak terkonsolidasi berupa pasir-kerakal yang merupakan pecahan dari batuan sedimen dan terumbu, terhampar di sela-sela dua satuan batuan di atas. Pada penelitian sedimen permukaan laut, berdasarkan pengamatan megaskopis, jenis sedimen permukaan dasar laut perairan sekitar Pulau Nipah dapat dibedakan menjadi tiga satuan, yaitu kerikil pasiran, pasir lanauan, dan boulder karang yang sudah mati. Adapun hasil interpretasi penampang seismik pantul dangkal dapat menggambarkan satuan batuan yang mendasari laut di sekitar Pulau Nipah. Satuan A merupakan seismic basement dengan ciri reflektor chaotic. Makin mendekati arah pulau, gelombang seismik tak mampu menembus satuan ini. Pada beberapa tempat, satuan ini membentuk tinggian dasar laut. Dengan alasan tersebut diperkirakan satuan ini sebagai batuan dasar, bukan tubuh granit, tetapi batuan metasedimen di daratan Pulau Nipah. Satuan B dengan posisi stratigrafi di atas satuan A memperlihatkanadanya pelapisan dengan ciri reflektor semiparalel. Hal ini menunjukkan adanya batuan sedimentak terkonsolidasi yang diperkirakan sebagai sedimen Kuarter. Satuan ini umumnya tipis menempati morfologi lembah satuan A, namun terdapat di bagian utara Pulau Nipah, yakni pada alur selat mencapai 20 m. Satuan C mencirikan pinnacle reef dengan bentuk runcing dan reflektor di bawahnya buram, satuan ini di atas satuan A ataupun B.Dari kenampakan rekaman penampang seismik menunjukkan, kondisi permukaan dasar laut sekitar Pulau Nipah masih alami, tidak ada indikasi adanya bekas pengerukan (penambangan) pasir laut. Kondisi daratan Daratan Pulau Nipah datar dan berbentuk lonjong berarah barat laut-tenggara. Pada kondisi air surut, daratan pulau ini muncul dengan luas 62,83 hektar, panjang garis pantai 3,96 km, sumbu panjang 1,6 km, dan sumbu lebar sekitar 0,4 km. Pada kondisi pasang, pulau ini sebagian besar tergenang, yang terlihat hanya beberapa tonjolan singkapan batuan metasedimen, kolam, beberapa pohon bakau, dan mercu suar. Biota di Pulau Nipah terdiri atas tumbuhan mangrove yang secara alami tumbuh pada substrat batuan dan pasir. Biota lain yang hidup pada zona pasang surut di daratan pulau adalah rumputlaut, hard-soft coral, sejenis tripang, dan berbagai jenis ikan karang. Sampai saat ini Pulau Nipah adalah pulau kosong dan tak berpenghuni. Tidak ada pemanfaatan lahan di pulau tersebut. Meski demikian, di bagian tengah Pulau Nipah terdapat kolam yang terlihat jelas jika pulau didekati. Mengingat batuan di pulau ini keras dan pejal, maka diperkirakan pembuatan kolam menggunakan peralatan berat dengan cara mengeruk batuan dasar atau bahkan dengan peledakan kecil. Kekuatan demikianlah yang mampu membentuk kolam sedemikian rupa. Di pinggirannya tampak timbunan material batuan dan pasir yangdiambil dari sekitar pulau. Pada kondisi surut, panjang kolam 100 m, lebar 45 m, dan kedalaman tengah kolam mencapai 3,5 m. Tidak didapatkan keterangan lebih lan mengenai kegunaan kolam ini. jut Namun, di kalangan penduduk sekitar berkembang isu bahwa Pulau Nipah akan dipergunakan untuk keperluan tempat pariwisata, perikanan, sampai pembuangan limbah B3 dari Singapura. Penduduk juga memberi keterangan bahwa kondisi Pulau Nipah dari dulu sampai sekarang-untuk batuan dasarnya-adalah tetap (tidak mengalami perubahan). Adapun sedimen pasir telah banyak berubah,terutama setelah pembuatan kolam. Tumbuhan pun kini sudah banyak berkurang. Pulau yang stabil Fakta lapangan menunjukkan, proses dominan yang mempengaruhikondisi pulau adalah proses marine, khususnya gelombang laut musiman. Selain itu, pulau ini mendapat beban gelombang laut yang ditimbulkan oleh lalu lintas kapal. Karena morfologi daratan pulau ini datar dan tergenang di saat pasang,proses abrasi tidak terlihat jelas. Bukti abrasi hanya dapat dilihat pada bagian yang menonjol di permukaan kolam dan mercu suar. Mengingat Pulau Nipah tersusun oleh batuan metasedimen dan terumbu karang yang mempunyai sifat relatif keras atau kompak, secara alami proses abrasi yang terjadi ti ak d begitu signifikan. Batuan penyusun pulau yang bermorfologi datar cukup mampu menahan gempuran gelombang laut, khususnya saat surut. Kondisi batuan penyusun di daratan Pulau Nipah dan data rekamanseismik menunjukkan bahwa Pulau Nipah tersusun oleh batuan dasar yang kuat, resisten, dan masif. Dengan demikian dapat disimpulkan, Pulau Nipah tidaklah tenggelam. Fakta lapangan menunjukkan bahwa pulau ini telah direkayasa. Pembuatan kolam yang materialnya diambil dari batuan setempat merupakan bentuk rekayasa yang bisa diduga justru mempercepat proses abrasi Pulau Nipah. Siapa pelaku rekayasa dan apa maksud serta tujuannya adalah hal lain yang harus di indaklanjuti oleh lembaga yang kompeten. t Satu hal yang pasti adalah, Pulau Nipah hendaklah di aga keberadaannya agar tetap lestari. j Salah satu pulau terluar di Indonesia ini juga harus dipertahankan sebagai monumen historis kewilayahan perjanjian perbatasan Indonesia-Singap tahun 1973. Pulau ini pun ura dapat difungsikan sebagai lahan peruntu wisata atau dibiarkan alami sebagai cagar kan alam. NA Kristanto Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
Sumber: /lembar-informasi-092003
Perebutan Blog Dasar Laut Krisis Ambalat
Wajar kita semakin emosi sebab tahun-tahun belakangan ini negara serumpun itu (Malaysia) seolah mengganggu kita (Indonesia) dengan berbagai pengakuan, mulai dari mengakui Reog Ponorogo, rendang Padang, batik sebagai milik mereka; mengakuisisi banyak lahan di Sumatra dan Kalimantan untuk ditanami sawit dan CPO (crude palm oil-nya) diolah mereka lalu minyak sawitnya dijual ke Indonesia dan dibeli rakyat Indonesia dengan harga mahal; memborong naskah-naskah kuno Melayu ke Riau daratan dan Riau kepulauan sampai ke Pulau Penyengat agar mereka layak disebut aslinya Melayu; sampai kasus terakhir ala sinetron Manohara; dan kini Ambalat.
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu, tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindungan satwa. Dalam krisis Ambalat yang diributkan Indonesia dan Malaysia (dengan ketegangan) adalah bukan sengketa pulau, tetapi sengketa sebuah blok dasar laut yang dikenal dengan landas kontinen (benua) yang disebut Landas Kontinen Ambalat.
Sebenarnya Indonesia telah mengeluarkan UU terbaru tentang Wilayah Negara (UU RI Nomor 43 Tahun 2008). Dalam UU itu, yang mengacu kepada UNCLOS 1982, jelas diatur soal definisi dan penguasaan Landas Kontinen. UU RI No. 43/2008 Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 mendefinisikan Landas Kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2500 (dua ribu lima ratus) meter.
Jelas, bahwa Landas Kontinen Indonesia ke arah Sabah Malaysia bisa didefinisikan dengan berbagai kriteria :
•Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
•Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari gars dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982;
•Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kedaulatan dan hak berdaulat (secara hukum internasional ini dua terminologi berbeda) harus ditegakkan dan dibela tidak saja dengan PELURU tetapi juga dengan PENGETAHUAN. Maka, sebaiknya kita harus siapkan dua hal itu apabila kita kelak berkonfrontasi dengan negara-negara tetangga soal perbatasan. PELURU penting untuk menggebrak musuh, PENGETAHUAN penting untuk berjaya dalam meja-meja perundingan.
Sumber: milis Ikatan Ahli Geoligi Indonesia
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu, tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindungan satwa. Dalam krisis Ambalat yang diributkan Indonesia dan Malaysia (dengan ketegangan) adalah bukan sengketa pulau, tetapi sengketa sebuah blok dasar laut yang dikenal dengan landas kontinen (benua) yang disebut Landas Kontinen Ambalat.
Sebenarnya Indonesia telah mengeluarkan UU terbaru tentang Wilayah Negara (UU RI Nomor 43 Tahun 2008). Dalam UU itu, yang mengacu kepada UNCLOS 1982, jelas diatur soal definisi dan penguasaan Landas Kontinen. UU RI No. 43/2008 Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 mendefinisikan Landas Kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2500 (dua ribu lima ratus) meter.
Jelas, bahwa Landas Kontinen Indonesia ke arah Sabah Malaysia bisa didefinisikan dengan berbagai kriteria :
•Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
•Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari gars dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982;
•Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kedaulatan dan hak berdaulat (secara hukum internasional ini dua terminologi berbeda) harus ditegakkan dan dibela tidak saja dengan PELURU tetapi juga dengan PENGETAHUAN. Maka, sebaiknya kita harus siapkan dua hal itu apabila kita kelak berkonfrontasi dengan negara-negara tetangga soal perbatasan. PELURU penting untuk menggebrak musuh, PENGETAHUAN penting untuk berjaya dalam meja-meja perundingan.
Sumber: milis Ikatan Ahli Geoligi Indonesia
Senin, 03 Mei 2010
Perjanjian Atas Batas Wilayah Hubungannya dengan Undang-Undang
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melakukan penyelesaian masalah garis batas landas kontinen dengan negara Malaysia, Thailand, Australia dan India. Berikut merupaan perjanjian yang dilakukan oleh kedua negara atas batas negara Indonesia dengan masing-masing negara lainya:
1. Perjanjian RI dan Malaysia
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut Cina Selatan
- Ditandatangai tanggal 27 oktober 1969
- Berlaku mulai 7 November 1969
2. Perjanjian Republik Indonesia dengan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut andaman
- Ditandatangai tanggal 17 Desember 1971
- Berlaku mulai 7 April 1972
3. Perjanjian Republik Indonesia dengan Malaysia dan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen bagian utara
- Ditandatangai tanggal 21 Desember 1971
- Berlaku mulai 16 Juli 1973
4. Perjanjian RI dengan Australia
- Penetapan atas batas dasar laut di Laut Arafuru, di depan pantai selatan Pulau Papua / Irian serta di depan Pantau Utara Irian / Papua
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 19 November 1973
5. Perjanjian RI dengan Australia (Tambahan Perjanjian Sebelumnya)
- Penetapan atas batas-batas dasar laut di daerah wilayah Laut Timor dan Laut Arafuru
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 9 Oktober 1972
6. Perjanjian RI dengan India
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di wilayah Sumatera / Sumatra dengan Kepulauan Nikobar / Nicobar
- Ditandatangai tanggal 8 Agustus 1974
- Berlaku mulai 8 Agustus 1974
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Semua perjanjian tersebut di atas dapat dilihat contohnya pada perjanjian batas laut negara Timor Leste yang harus melibatkan Indonesia.
Denpasar (ANTARA News) - Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, menegaskan, pembahasan dan perundingan batas laut negara dan wilayah zone ekonomi eksklusif di Laut Timor oleh Australia dan Timor Timur harus juga melibatkan Indonesia. Dalam satu komunikasi di Denpasar, Selasa, Ferdi menilai, perjanjian Indonesia-Australia pada 1972 tentang penetapan batas landas kontinen yang menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation). Prinsip itu melegitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen berbeda dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian utara dari batas landas kontinen Australia.
"Prinsip itu adalah tidak benar.Dalam perjanjian tersebut diabaikan prinsip garis tengah untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara," katanya.
Konsepsi itu menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor sehingga Australia bisa menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya bahan bakarfosil.
"Padahal fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja," katanya.
Menurut Tanoni, sehubungan fakta itu, maka berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa 1958 Tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal lautwilayahnya. Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya antara Indonesia di wilayah Pulau Timor dan Australia, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen.
"Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia," katanya.
Menurutnya, pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara.
"Akan tetapi pada kenyataannya, Australia telah menggunakan perjanjian itu secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah sejak 450 tahun secara turun temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian," katanya.
Padahal, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal saja itu tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi.
Sejak 1999 telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya setelah negara baru, Timor Timur, menjadi satu negara berdaulat. Negara baru ini menempati wilayah setengah Pulau Timor.
Dengan begitu, katanya, Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua negara lagi, tapi sudah merupakan milik tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Timur. (*)
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WILAYAH NEGARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udaradi atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Referensi:
organisasi.org
/perjanjian-batas-laut-timor-harus-libatkan-indonesia
1. Perjanjian RI dan Malaysia
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut Cina Selatan
- Ditandatangai tanggal 27 oktober 1969
- Berlaku mulai 7 November 1969
2. Perjanjian Republik Indonesia dengan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di Selat Malaka dan laut andaman
- Ditandatangai tanggal 17 Desember 1971
- Berlaku mulai 7 April 1972
3. Perjanjian Republik Indonesia dengan Malaysia dan Thailand
- Penetapan garis batas landas kontinen bagian utara
- Ditandatangai tanggal 21 Desember 1971
- Berlaku mulai 16 Juli 1973
4. Perjanjian RI dengan Australia
- Penetapan atas batas dasar laut di Laut Arafuru, di depan pantai selatan Pulau Papua / Irian serta di depan Pantau Utara Irian / Papua
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 19 November 1973
5. Perjanjian RI dengan Australia (Tambahan Perjanjian Sebelumnya)
- Penetapan atas batas-batas dasar laut di daerah wilayah Laut Timor dan Laut Arafuru
- Ditandatangai tanggal 18 Mei 1971
- Berlaku mulai 9 Oktober 1972
6. Perjanjian RI dengan India
- Penetapan garis batas landas kontinen kedua negara di wilayah Sumatera / Sumatra dengan Kepulauan Nikobar / Nicobar
- Ditandatangai tanggal 8 Agustus 1974
- Berlaku mulai 8 Agustus 1974
Mengingat :
Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Semua perjanjian tersebut di atas dapat dilihat contohnya pada perjanjian batas laut negara Timor Leste yang harus melibatkan Indonesia.
Denpasar (ANTARA News) - Ketua Yayasan Peduli Timor Barat, Ferdi Tanoni, menegaskan, pembahasan dan perundingan batas laut negara dan wilayah zone ekonomi eksklusif di Laut Timor oleh Australia dan Timor Timur harus juga melibatkan Indonesia. Dalam satu komunikasi di Denpasar, Selasa, Ferdi menilai, perjanjian Indonesia-Australia pada 1972 tentang penetapan batas landas kontinen yang menggunakan prinsip landas kontinen perpanjangan alamiah (natural prolongation). Prinsip itu melegitimasi argumentasi Australia bahwa Benua Australia dan Pulau Timor terletak dalam dua kontinen berbeda dan Palung Timor merupakan representasi fisik bagian utara dari batas landas kontinen Australia.
"Prinsip itu adalah tidak benar.Dalam perjanjian tersebut diabaikan prinsip garis tengah untuk menetapkan batas landas kontinen kedua negara," katanya.
Konsepsi itu menggunakan konsepsi kelanjutan alamiah sehingga batas landas kontinen ditetapkan pada poros kedalaman laut (bathy-metric-axis) di Palung Timor sehingga Australia bisa menguasai 85 persen dasar Laut Timor yang kaya raya bahan bakarfosil.
"Padahal fakta geologi dan geomorfologi menunjukkan Benua Australia dan Pulau Timor berada dalam satu landasan kontinen yang sama yakni landas kontinen Australia dan Palung Timor hanyalah merupakan patahan alamiah biasa saja," katanya.
Menurut Tanoni, sehubungan fakta itu, maka berdasarkan definisi landas kontinen Konvensi Jenewa 1958 Tentang Landas Kontinen dan Konvensi Hukum Laut 1982, landas kontinen negara pantai minimal 200 mil laut dihitung dari garis-garis pangkal lautwilayahnya. Namun jika pantai negara tersebut letaknya berhadapan dengan pantai negara lain seperti halnya antara Indonesia di wilayah Pulau Timor dan Australia, maka yang berlaku adalah prinsip-prinsip delimitasi dan bukan definisi landas kontinen.
"Atas fakta dan dasar inilah maka sudah seharusnya batas landas kontinen RI-Australia di Laut Timor ditetapkan pada garis tengah antara garis pangkal laut wilayah Indonesia dan Australia," katanya.
Menurutnya, pada 1997, pemerintah Indonesia dan Australia telah menandatangani Perjanjian Batas-Batas Dasar Laut Tertentu dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) di Laut Timor yang hingga saat ini belum diratifikasi oleh kedua negara.
"Akan tetapi pada kenyataannya, Australia telah menggunakan perjanjian itu secara tidak manusiawi dengan memberangus para nelayan tradisional Indonesia yang sudah sejak 450 tahun secara turun temurun menjadikan wilayah perairan itu sebagai ladang mata pencaharian," katanya.
Padahal, dalam perjanjian yang hanya berisikan 11 pasal saja itu tegas dinyatakan dalam pasal 11 bahwa perjanjian ini harus diratifikasi dan akan mulai berlaku pada tanggal pertukaran piagam-piagam ratifikasi.
Sejak 1999 telah terjadi perubahan geopolitik yang sangat signifikan di Laut Timor dengan lahirnya setelah negara baru, Timor Timur, menjadi satu negara berdaulat. Negara baru ini menempati wilayah setengah Pulau Timor.
Dengan begitu, katanya, Laut Timor sudah bukan merupakan milik dari dua negara lagi, tapi sudah merupakan milik tiga negara yakni Indonesia, Australia dan Timor Timur. (*)
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG WILAYAH NEGARA
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udaradi atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.
2. Wilayah Perairan adalah perairan pedalaman, perairan kepulauan, dan laut teritorial.
3. Wilayah Yurisdiksi adalah wilayah di luar Wilayah Negara yang terdiri atas Zona Ekonomi Eksklusif, Landas Kontinen, dan Zona Tambahan di mana negara memiliki hak-hak berdaulat dan kewenangan tertentu lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
4. Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional.
5. Batas Wilayah Yurisdiksi adalah garis batas yang merupakan pemisah hak berdaulat dan kewenangan tertentu yang dimiliki oleh negara yang didasarkan atas ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum internasional.
6. Kawasan Perbatasan adalah bagian dari Wilayah Negara yang terletak pada sisi dalam sepanjang batas wilayah Indonesia dengan negara lain, dalam hal Batas Wilayah Negara di darat, Kawasan Perbatasan berada di kecamatan.
7. Zona Tambahan Indonesia adalah zona yang lebarnya tidak melebihi 24 (dua puluh empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
8. Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah suatu area di luar dan berdampingan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai perairan Indonesia dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur.
9. Landas Kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2.500 (dua ribu lima ratus) meter.
10. Perjanjian Internasional adalah perjanjian dalam bentuk dan nama tertentu yang diatur dalam hukum internasional yang dibuat secara tertulis serta menimbulkan hak dan kewajiban di bidang hukum publik.
11. Badan Pengelola adalah badan yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang ini di bidang pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
12. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
13. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
Referensi:
organisasi.org
/perjanjian-batas-laut-timor-harus-libatkan-indonesia
Langganan:
Postingan (Atom)