Minggu, 09 Mei 2010

Perebutan Blog Dasar Laut Krisis Ambalat

Wajar kita semakin emosi sebab tahun-tahun belakangan ini negara serumpun itu (Malaysia) seolah mengganggu kita (Indonesia) dengan berbagai pengakuan, mulai dari mengakui Reog Ponorogo, rendang Padang, batik sebagai milik mereka; mengakuisisi banyak lahan di Sumatra dan Kalimantan untuk ditanami sawit dan CPO (crude palm oil-nya) diolah mereka lalu minyak sawitnya dijual ke Indonesia dan dibeli rakyat Indonesia dengan harga mahal; memborong naskah-naskah kuno Melayu ke Riau daratan dan Riau kepulauan sampai ke Pulau Penyengat agar mereka layak disebut aslinya Melayu; sampai kasus terakhir ala sinetron Manohara; dan kini Ambalat.
Kekalahan Indonesia di Sipadan dan Ligitan (sebelah utara Ambalat) adalah karena Indonesia tidak bisa menunjukkan bukti bahwa Belanda (penjajah Indonesia) telah memiliki kedua pulau itu; sementara Malaysia bisa menunjukkan bukti bahwa Inggris (penjajah Malaysia) memiliki dan mengelola kedua pulau itu. Dalam Hukum Internasional dikenal istilah “Uti Possidetis Juris” yang artinya negara baru akan memiliki wilayah atau batas wilayah yang sama dengan bekas penjajahnya. Dalam sengketa Sipadan-Ligitan, Indonesia dan Malaysia bersepakat istilah “warisan penjajah” itu berlaku untuk wilayah-wilayah yang dikuasai sebelum tahun 1969. Jadi Mahkamah Internasional memenangkan Malaysia saat itu bukan karena Malaysia pada tahun 1990-an telah membangun resort di kedua pulau itu, tetapi karena Inggris sebelum tahun 1969 telah menununjukkan penguasaan yang efektif atas kedua pulau itu berupa pungutan pajak atas pemungutan telur penyu, operasi mercu suar, dan aturan perlindungan satwa. Dalam krisis Ambalat yang diributkan Indonesia dan Malaysia (dengan ketegangan) adalah bukan sengketa pulau, tetapi sengketa sebuah blok dasar laut yang dikenal dengan landas kontinen (benua) yang disebut Landas Kontinen Ambalat.



Sebenarnya Indonesia telah mengeluarkan UU terbaru tentang Wilayah Negara (UU RI Nomor 43 Tahun 2008). Dalam UU itu, yang mengacu kepada UNCLOS 1982, jelas diatur soal definisi dan penguasaan Landas Kontinen. UU RI No. 43/2008 Bab I (Ketentuan Umum) Pasal 1 mendefinisikan Landas Kontinen Indonesia meliputi dasar laut dan tanah di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang terletak di luar laut teritorial, sepanjang kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu jarak 200 (dua ratus) mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur, dalam hal pinggiran luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 (tiga ratus lima puluh) mil laut sampai dengan jarak 100 (seratus) mil laut dari garis kedalaman 2500 (dua ribu lima ratus) meter.
Jelas, bahwa Landas Kontinen Indonesia ke arah Sabah Malaysia bisa didefinisikan dengan berbagai kriteria :
•Jarak sampai 200 mil laut jika tepian luar kontinen tidak mencapai jarak 200 mil laut tersebut;
•Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut yang diukur dari gars dasar Laut Teritorial jika di luar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan dan jika memenuhi kriteria kedalaman sedimentasi yang ditetapkan dalam UNCLOS 1982;
•Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobath) 2500 meter.
Kedaulatan dan hak berdaulat (secara hukum internasional ini dua terminologi berbeda) harus ditegakkan dan dibela tidak saja dengan PELURU tetapi juga dengan PENGETAHUAN. Maka, sebaiknya kita harus siapkan dua hal itu apabila kita kelak berkonfrontasi dengan negara-negara tetangga soal perbatasan. PELURU penting untuk menggebrak musuh, PENGETAHUAN penting untuk berjaya dalam meja-meja perundingan.

Sumber: milis Ikatan Ahli Geoligi Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar